Sawunggaling ternyata juga ada di Lidah Wetan, jaraknya memang tidak lebih dua kilometer dari Wiyung, namun sosok legendaris ini memiliki cerita hidup yang berbeda jauh di mata warga Lidah Wetan dibanding warga Wiyung.
Jika di Wiyung mengklaim makam Sawunggaling di kampungnya, di Lidah Wetan juga tidak mau kalah. Sebuah kompleks pemakaman kuno di daerah ini diyakini sebagai makam Sawunggaling dan kerabatnya.
Ada lima batu nisan di kompleks ini. Yang pertama makam Sawunggaling, empat lainnya bertuliskan Raden Ayu Dewi Sangkrah (Ibu Sawunggaling. Mbah Buyut Suruh (neneknya). Raden Karyosentono (kakeknya). Raden Ayu Pandansari. Siapa Pandansari? masih simpang siur
Ada yang yakin dia mahluk yang mengawal Sawunggaling. Puteri kesayangan raja jin penguasa hutan Lidah dan Wiyung kala itu masih belantara. Namun ada warga yang menduga pandansari adalah istri Sawunggaling. Padahal kisah yang dikenal selama ini menyebutkan Sawunggaling bujangan sampai akhir hayatnya.
Seorang ningrat Mataram Raden Ayu Dewi Sangkrah yang minggat dari keraton diangkat anak oleh sesepuh adat Lidah Karyosentono dan Buyut Suruh. Gadis yang digambarkan cantik ini sempat menarik perhatian raja Surabaya, Jayengrono yang gemar berburu di kawasan ini.
Kisah perkenalan, hingga perkawinan ini sama dengan versi Wiyung, Namun di versi Lidah dijelaskan jika Jayengrono sempat berpesan kepada Sangkrah jika kelak Sawunggaling dewasa, beritahu jika ayahnya adalah Jayengrono, penguasa kerajaan Surabaya. Sang Raja meninggalkan selendang yang dikenal dengan sebutan cinde. Kain inilah yang akan menjadi penghantar Sawunggaling dewasa menemui ayahnya. kelak.
Singkat cerita, Dewi yang sudah nikah lagi dan dikaruniai dua anak harus membuka rahasia selama belasan tahun ketika Sawunggaling berpamitan ingin merantau ke kota kerajaan Surabaya. Sawunggaling berniat berangkat bersama kakek angkatnya Karyosentono ke keraton. Upaya penggagalan rencana Sawunggaling itu juga dilakukan dua adik tirinya, Sawungrono dan Sawungsari.
Perjalanan melelahkan menembus hutan itu akhirnya sampai ke kota kerajaan. Dia mengubah namanya dengan sebutan Joko Berek karena nama Sawunggaling sudah dikenal sebagai jago adu ayam. Diduga ini sebagai upaya agar dirinya tidak dikenal.
Namun dikisahkan Sawunggaling ternyata justru tidak bisa masuk dalam tembok keraton meskipun membawa cinde. Tidak ada yang bisa meyakinkan penjagaan dengan sehelai kain yang dibawa lelaki ceking dari pedalaman Surabaya ini.
Sampai beberapa lama dia menggelandang. Menjadi orang yang gemar berkelahi, sosoknya kian terkenal, sampai suatu hari sang raja yang sudah uzur berkeliling kerajaan. Sawunggaling berniat mencegatnya, namun sempat pula dihalang-halangti.
Namun ketika sang raja sedang lewat menunggang gajah, dan setiap orang di kota kerajaan menunduk, Sawunggaling malah memperlihatkan bkepala tegak, dai memancing perhatian, dia kemudian justru melempar cinde. Para pengawalpun sigap menangkap.
"Saya dititipi kain ini oleh ibu," teriaknya. Sang raja sontak kaget langsung berhenti dan menemui anaknya. Dia memeluk haru. Semua bengong, pengawal juga demikian. Tidak ada yang bisa menghalangi pertemuan bapak anak yang belasan tahun berpisah ini.
No comments:
Post a Comment